Sabtu, 14 Desember 2019

TRANSISI ENERGI UNTUK KAMU DAN MASA DEPAN BUMI


Apa yang ada dibenak kamu saat melihat perkembangan dunia saat ini ? Pastinya ada kesan kekaguman dan terpukau saat menyadari bahwa dunia telah mengalami transisi yang luar biasa, dari zaman yang dulunya harus manual dan sekarang menjadi lebih modern dan serba canggih. Faktanya, dunia saat ini telah memasuki era revolusi industri 4.0, dengan berbagai “teknologi cerdas” yang lebih sederhana, mudah dijangkau dan diakses. Namun ternyata, kecanggihan dunia juga berdampak terhadap kondisi bumi saat ini dan masa yang akan datang loh. Hmm.. Bagaimana ini terjadi ? Yuk kita simak. 

Jika kita berpikir ulang, apa ya yang paling dibutuhkan bagi dunia untuk melakukan perkembangan ? Tentunya, salah satu hal mutlak yang tidak bisa diabaikan untuk memenuhi kebutuhan di dunia adalah ENERGI. Bagaimana energi memliki peranan besar dalam kehidupan di dunia ? Logika sederhananya adalah manusia untuk bergerak saja membutuhkan energi, apalagi seluruh aktivitas yang dilakukan untuk perkembangan dunia. Dan terlebih lagi ternyata energi yang dibutuhkan tersebut tidak dalam jumlah yang sedikit dan pasokan energi tersebut harus tetap tersedia dari waktu ke waktu untuk kehidupan generasi selanjutnya.  

Pada tahun 2016, Indonesia pernah tercatat sebagai negara dengan konsumsi energi terbesar di kawasan Asia Tenggara dan urutan kelima di Asia Pasifik, setelah negara China, India, Jepang dan Korea Selatan. Dan berdasarkan data Outlook Energi Indonesia 2019(1), konsumsi energi di Indonesia terbagi untuk sektor transportasi 40%, industri 36%, rumah tangga 16%, komersial 6%, dan sektor lain sebesar 2%. Sayangnya, sumber energi yang selama ini digunakan di Indonesia 93,7% masih berasal dari bahan bakar fosil yaitu minyak bumi 42,1%, gas alam 30,3% dan batu bara 21,3%. 

Penggunaan bahan bakar fosil memang telah menjadi fondasi dari sistem energi, pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup modern selama ini. Akan tetapi, bahan bakar fosil yang kita gunakan terus-menerus itu berdampak negatif bagi kelestarian lingkungan, seperti menimbulkan polusi, efek gas rumah kaca, hujan asam hingga pemanasan global, yang sumber terbesarnya disebabkan oleh gas karbon dioksida (C02) dari hasil pembakaran bahan bakar fosil.

Tahukah kamu bahwa Indonesia merupakan salah satu negara G-20 yang memiliki emisi efek gas rumah kaca sebesar 9,2 tCO2e/kapita, padahal standar emisi dari rata-rata negara G-20 hanya 8 tCO2e/kapita. Artinya, Indonesia memiliki emisi 15% lebih tinggi daripada negara-negara G-20 lainnya dan setiap warga Indonesia dapat dikatakan menghasilkan rata-rata 9,2 ton emisi karbon dioksida setiap tahunnya dari berbagai sektor(2)

Jika penggunaan bahan bakar fosil ini tidak diminimalisir, maka produksi emisi akan cenderung naik dan tentunya bukan hanya menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya, tetapi bahkan berdampak buruk bagi kesehatan bumi kita. Selain itu, bahan bakar fosil merupakan sumber energi yang tak terbarukan, sehingga jumlahnya sangat terbatas dan tidak menutup kemungkinan bahwa dunia akan kesusahan untuk mencari ketersediaan bahan bakar fosil di masa depan. Kemudian, apakah solusinya ?

Transisi Energi 
Nah, sejalan dengan perkembangan dunia, bumi juga membutuhkan transisi untuk bisa menjadi tempat yang lebih baik.  Untuk itulah, transisi energi ditawarkan sebagai solusi alternatif. Transisi energi menuntut untuk melakukan perubahan pengadaan dan penggunaan bahan bakar fosil menjadi energi baru dan terbarukan (EBT) serta penngkatan efisiensi energi. 

Sumber EBT berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 53 Tahun 2018 adalah energi yang berasal sumber energi berkelanjutan seperti panas bumi, biomassa, sinar matahari, angin, aliran dan terjunan air, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. 
Penggunaan EBT dinilai bersifat ramah lingkungan karena pengolahannya berasal dari tenaga yang dihasilkan oleh proses alam, sehingga dapat meminimalisir produksi emisi ke lingkungan. Selain itu, sumber energi yang dihasilkan dari sistem EBT dapat diperbarui sehingga energi dapat digunakan secara terus menerus dan  disimpan untuk pasokan energi di masa depan.

Indonesia memiliki potensi dalam mengembangkan EBT. Saat ini penggunaan EBT hanya sekitar 5-6% dari total penggunaan energi di Indonesia. Beberapa provinsi di luar Jawa dan Sumatera diprediksi memiliki potensi EBT yang cukup besar. Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Selatan masing-masingnya memiliki potensi mencapai lebih dari 20 GW. Itulah mengapa perencanaan penyediaan listrik di daerah tersebut seharusnya dapat memprioritaskan pemanfaatan EBT. Di sisi lain, kapasitas terpasang EBT di daerah Sumatera Utara sudah lebih dari 500 MW.

Provinsi
Potensi  (MW)
Kapasitas Terpasang 2018 (MW)
Kalimantan Barat
26.841
247
Papua
26.529
20
Jawa Barat
26.190
3.184
Jawa Timur
24.240
275
Kalimantan Timur
23.841
-
Sumatera Utara
22.478
839
Nusa Tenggara Barat
21.991
17
Sumatera Selatan
21.866
18
Kalimantan Tengah
19.568
-
Jawa Tengah
19.450
366
Gambar 1. 10 daerah dengan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) terbesar (3) 

Potensi energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia memang cukup besar dan juga memiliki variasi energi yang cukup beragam. Namun, nyatanya potensi EBT belum dapat terlaksana secara maksimal karena berbagai kendala dalam penerapannya, seperti biaya investasi yang tinggi, efisiensi teknologi yang relatif rendah, letak geografis dan faktor sosial masyarakat sebagai pengguna energi.

Pemerintah telah mengupayakan agar target pemanfaatan EBT bauran energi tahun 2025 mencapai 23%. Namun, sekali lagi rencana ini akan sulit tercapai jika penggunaan bahan bakar fosil masih mendominasi. Oleh karena itu, gerakan penghematan energi dan pengembangan terobosan energi terbaru perlu dilakukan tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat khususnya pemuda dan generasi milenial.

Secara demografi, generasi milenial akan mendominasi jumlah penduduk Indonesia. Tentunya kesediaan energi untuk masa depan akan mempengaruhi kualitas hidup generasi milenial selanjutnya, karena semakin canggih dunia maka energi yang dibutuhkan akan semakin banyak pula. Perbandingan antara peningkatan produksi, jumlah penduduk dan kebutuhan energi akan terus meningkat dari tahun ke tahun dan hal ini sudah semestinya menjadi keresahan bagi kaum pemuda dan generasi milenial.

Faktanya, kesadaran generasi milenial akan pentingnya energi cukup tinggi. Tidak sedikit dari mereka ikut bergabung dalam komunitas-komunitas untuk membuat gerakan dan aksi peduli terhadap energi, seperti Komunitas Earth Hour, di bawah naungan WWF yang mencanangkan program Switch Off untuk menyatakan kepedulian terhadap perubahan iklim. Selain itu, ada Rumah Energi yang memberikan wadah bagi generasi milenial untuk menyalurkan ide dan kreatifitasnya terkait dengan pengembangan EBT, serta masih banyak komunitas-komunitas lainnya.

Teknologi pengembangan EBT telah menjadi magnet di kalangan generasi milenial. Berbagai inovasi dilakukan untuk menciptakan energi-energi baru ramah lingkungan yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. Saat ini banyak penelitian yang berhasil menemukan teknologi penghasil EBT berbahan baku zat organik seperti kelapa sawit, singkong ataupun tebu. Menariknya, ide-ide yang diberikan oleh generasi muda dan milenial terbilang sangat sederhana, namun memiliki prospek jangka panjang dan keuntungan yang dapat diberikan bagi kemandirian dan ketahanan energi. Bahkan tidak sedikit penelitian yang terbilang sukses memanfaatkan limbah industri organik sebagai bahan baku energi alternatif tersebut.

Sebenarnya banyak sekali potensi-potensi sumber daya alam yang bisa kita manfaatkan untuk menciptakan berbagai inovasi baru dalam pengembangan EBT. Salah satunya sumber energi yang dapat kita terapkan berasal dari limbah rumah tangga kita sendiri. Tak jarang kita sering mengabaikan limbah organik rumah tangga terbuang begitu saja dan mengganggap tidak berguna, padahal jika diteliti kegunaannya, sampah limbah organik dapat menjadi barang yang berkelas.

Pemanfaatan limbah rumah tangga dapat menghasil energi baru berupa biogas. Pembuatan biogas dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan prinsip fermentasi. Sumber utama limbah organik yang dapat digunakan adalah kotoran hewan dan sisa-sisa makanan. Dengan bantuan mikroorganisme, limbah organik tersebut akan diubah menjadi gas metan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar, seperti bahan bakar pada kompor gas serta kegunaan lainnya. Wah, ternyata keren ya, selain kita mendapatkan energi, limbah rumah tangga kita juga terolah dengan baik.
 
 
Gambar 2. Model Sederhana Teknologi EBT Biogas (4) 

Nah, jadi kamu sudah paham kan, untuk memulai pemanfaatan EBT, kamu tidak harus mencoba dari hal yang rumit dan sulit didapatkan. Kamu juga bisa memanfaatkan apa yang ada disekitarmu dan mulailah bereksperimen. Karena semua hal bisa dimulai dari kita, oleh kita, untuk kita dan bumi tercinta. 




Create your own energy, to light up the future
(Ciptakan energimu, untuk menerangi masa depan)






Referensi : 
  1. Outlook Energi Indonesia 2019. Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional.  
  2. Climate Transparency. The Ambition Call. https://www.climate-transparency.org/call-for-more-ambition-ahead-of-the-un-climate-action-summit. 23 September 2019. 
  3. IESR (2019). Laporan Status Energi Bersih Indonesia: Potensi, Kapasitas Terpasang,dan Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Energi Terbarukan 2019.
  4. Cara membuat biogas mini dari sampah organik. https://kumacart.com/cara-membuat-biogas-mini-dari-sampah-organik/.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar